Teguh Santoso
(Perencana Ahli Madya PPPPTK Penjas dan BK, Bogor)
Setiap 21 Februari diperingati sebagaai Hari Bahasa Ibu Internasional. Bahasa ibu sejatinya berbeda dengan bahasa daerah. Akan tetapi, di Indonesia rata-rata bahasa pertama yang dikuasai oleh penutur adalah bahasa daerahnya sehingga seringkali bahasa ibu di Indonesia diidentikkan dengan bahasa daerah. Kondisi kebahasaan yang diglosik menyebabkan bahasa daerah berperan juga sebagai bahasa ibu. Hal ini menunjukkan bahwa kekayaan bahasa daerah di Indonesia berperan penting dalam melanjutkan kebudayaan masyarakat sebuah penutur bahasa daerah tertentu.
Lalu, bagaimanakah kondisi bahasa daerah saat ini serta prospek bahasa daerah ke depannya? Artikel ini akan mengulas hal tersebut berdasarkan fakta-fakta yang terjadi di lapangan. Ada banyak parameter yang menunjukkan keberadaan bahasa daerah di Indonesia saat ini. Parameter yang pertama yaitu semakin menurunnya jumlah penutur bahasa daerah. Hal ini dapat dilihat pada data statistik yang setiap 5 tahun selalu dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Parameter lainnya yaitu semakin banyak generasi yang tidak dapat berbahasa daerah. Hal ini disebabkan oleh berbagaai faktor seperti perkawinan antaretnis, pendidikan, serta kemajuan teknologi. Seringkali penulis menganalogikan bahasa derah ibarat petinju yang sudah terpojok di sudut ring dan dihajar habis-habisan oleh bahasa Indonesia dan bahasa asing. Kondisi ini diperparah dengan rendahnya kesadaran penutur bahasa daerah akan pentingnya pelestarian bahasa daerah guna menjaga kebudayaannya secara luas.
Secara singkat dapat penulis gambarkan bahwa kondisi bahasa daerah saat ini masuk fase kritis. Meskipun berbagai upaya dilakukan oleh berbagai pihak pemangku kepentingan di bidang bahasa, tampaknya upaya-upaya tersebut masih terbatas pada upaya pendokumentasian dan bukan mendorong bertumbuhnya pemakaian bahasa daerah di kalangan penuturnya. Bahasa daerah semakin terpinggirkan oleh pemakaian bahasa nasional dan bahasa asing. Kondisi ini tentu saja dialami hampir oleh semua bahasa daerah yang ada di Indonesia.
Upaya “membumikan” bahasa daerah sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh pemerintah daerah di hampir seluruh wilayah Indonesia yaitu dengan menjadikan bahasa daerah sebagai muatan lokal. Akan tetapi, pemberlakukan kurikulum muatan lokal bahasa daerah masih banyak kendala di lapangan. Beberapa kasus penerapan bahasa daerah sebagai muatan lokal yang kurang tepat. Contoh ada daerah yang memiliki lebih dari dua bahasa daerah, dengan dominasi penutur bahasa daerah tertentu. Sementara penutur bahasa daerah lain di wilayah tersebut relatif sedikit. Kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah menerapkan bahasa daerah dengan jumlah penutur dominan menjadi muatan lokal di Sekolah Dasar tanpa memperhatikan bahwa di daerah tersebut terdapat juga penutur bahasa daerah lain yang jumlahnya sedikit. Akibatnya, si pembelajar mengalami kerepotan ketika harus belajar bahasa daerah lain yang sama sekali tidak dikuasai sebelumnya. Untuk mengatasi kondisi tersebut alangkah baiknya apabila pemerintah daerah terlebih dahulu melakukan pemetaan (mapping) terutama tentang wilayah pakai bahasa-bahasa daerah di wilayahnya dan jumlah penuturnya. Ketika sudah dipetakan, tinggal membuat kebijakan tentang muatan local sesuai dengan kondisi kebahasaan yang ada tidak secara serampangan menerapkan untuk semuanya.
Contoh lain ketimpangan bahasa daerah sebagai muatan lokal yaitu heterogenitas masyarakat bahasa yang ada. Secara sekilas contoh sederhana di Kota Depok. Secara administrative, Kota Depok masuk dalam wilayah Provinsi Jawa Barat. Sedangkan secara geografis, wilayah Depok sangat dekat dan berbatasan langsung dengan ibukota. Di samping itu, komposisi penduduk Depok mayoritas memiliki latar belakang yang berbeda asal suku bangsanya. Ada yang dari Batak, Jawa, Menado dsb. Kebijakan muatan lokal di Kota Depok yaitu bahasa Sunda. Kita tahu bahwa bahasa Sunda memiliki jumlah penutur yang besar di Provinsi Jawa Barat. Akan tetapi, melihat faktor terutama heterogenitas warganya, tidak semua menguasai dan bisa berbahasa Sunda. Akibatnya, siswa di Sekolah Dasar yang notabene bukan berbahasa ibu bahasa Sunda mengalami kesulitan dalam proses pembelajarannya. Hal ini harus menjadi perhatian terutama pihak-pihak yang berkepentingan dalam dunia pendidikan.
Hal lain yang juga terkadang luput dari para pengambil kebijakan di tingkat daerah yaitu ketersediaan guru yang berlatar belakang bahasa daerah tertentu. Contoh bahasa Gayo di Provinsi Aceh. Sejauh amatan penulis di Provinsi Aceh belum ada LPTK (perguruan tinggi) yang membuka jurusan bahasa Gayo. Melihat kondisi seperti ini, akhirnya guru atau yang mengajarkan bahasa daerah (Gayo) tidak memiliki kompetensi yang tersertifikasi. Tidak semua perguruan tinggi di Indonesia memiliki jurusan bahasa daerah di kampusnya. Kalaupun sekaarang ada jurusan bahasa daerah, dapat dipastikan akan sepi peminat.
Itulah kondisi bahasa daerah saat ini yang kita rasakan. Kemudian, apakah bahasa daerah masih dapat “bertahan”? Jawabannya masih tetapi dalam lingkup yang sangat terbatas, yaitu ruang pakai yang hanya lekat dengan persoalan-persoalan tradisi. Tidak mungkin sebuah tradisi yang menggunakan bahasa daerah lalu akan tergantikan dengan bahasa nasional atau bahasa asing. Selain akan terasa aneh dan janggal juga akan menghilangkan makna atas tradisi tersebut bagi masyarakat pendukungnya. Singkatnya, eksistensi bahasa daerah hanya akan bertahan pada ranah yang berkaitan dengan tradisi. Di Aceh misalnya, ada tradisi menidurkan/ meninabobokkan bayi (dodaidi) menggunakan lantunan tembang yang kesemuanya menggunakan bahasa Aceh. Demikian halnya upacara adat pengantin di Jawa, selalu pembawa acara dan rangkain acara tersebut menggunakan bahasa Jawa sebagai mediumnya. Jika hal-hal tersebut digantikan posisinya oleh bahasa nasional atau bahasa asing atau bahasa daerah lain, aura dan kemagisan tradisi tersebut menjadi hilang. Inilah yang menjadikan bahasa daerah masih dapat bertahan pada ranah tradisi.
Akhirnya, pelestarian bahasa daerah di Indonesia mutlak diperlukan tidak hanya yang bersifat pendokumentasian semata tetapi lebih fokus pada aplikasinya. Bahasa daerah sebagai muatan lokal pun tidak hanya sekadar “mengenalkan” kepada anak didik tetapi jauh lebih dalam lagi memunculkan rasa memiliki dan bertanggung jawab atas keberlangsungan bahasa daerahnya. Selamat hari bahasa ibu. Semoga bahasa daerah memberikan kontribusi positif bagi penuturnya dan bagi nusa bangsa.