Denpasar—Kamis, 24 Februari 2022 menjadi hari penentuan bagi peserta seleksi penerjemah yang dilaksanakan oleh Balai Bahasa Provinsi Bali. Dewan juri yang terdiri atas Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M. Litt, Arif Bagus Prasetyo, M.Hum, dan Dr. I Gusti Agung Sri Rwa Jayantini, M.Hum. melakukan diskusi yang sedikit alot untuk menentukan sepuluh hasil terjemahan terbaik.
“Berbeda dengan tahun sebelumnya, seleksi penerjemah tahun ini dilakukan dengan melakukan “panggilan terbuka” (open call) dengan mengundang masyarakat untuk terlibat menjadi penerjemah apabila contoh terjemahan mereka dinilai layak oleh juri,” kata Nyoman Sutrisna, perwakilan panitia kegiatan.
Sebelum penjurian, panitia telah menerima 55 peserta melalui google formulir yang sebelumnya telah disosialisasikan ke masyarakat. Panitia kemudian menghapus identitas pada contoh terjemahan peserta dan menggantinya dengan nomor. Hal ini dilakukan supaya dewan juri tidak terpengaruh dengan identitas peserta dan hanya berfokus pada hasil karya saja. Hasil karya yang tanpa identitas ini selanjutnya dikirimkan ke dewan juri untuk dinilai. Dari penilaian ini terpilihlah sepuluh penerjemah yang akan menerjemahkan karya sastra Bali modern ke dalam bahasa Indonesia. Mereka adalah I Putu Eka Prayoga, S.Pd.H., M.Pd., Dra. Ni Wayan Aryani, M.Hum., Ida Bagus Arya Lawa Manuaba, Dewa Ayu Carma Citrawati, I Putu Ariana, S.S., M.Hum., I Gusti Putu Sudarta, Dr. I Gusti Ngurah Agung Wijaya Mahardika, S.Pd., M.Pd., Putu Ardana Bukian, Dr. Ni Ketut Dewi Yulianti, S.S., M.Hum., dan I Wayan Kerti.
“Contoh terjemahan yang masuk ke meja Juri menunjukkan bahwa para peserta seleksi telah berusaha menghasilkan terjemahan yang baik dengan mengikuti kriteria keakuratan, keterbacaan, dan keberterimaan yang menjadi dasar penilaian,” ungkap Ibu Agung Sri selaku juri pada kegiatan ini.
Sementara itu, Prof. Darma Putra mengungkapkan bahwa kekurangakuratan terjadi, misalnya tampak pada hadirnya terjemahan kata atau frasa yang (1) terlalu umum, (2) terjemahan yang kurang tepat, (3) terjemahan kata yang kehilangan nuansa bahasa sumber, (4) terjemahan kata yang tampak mirip tapi berlawanan, dan 5) adanya bagian dari teks yang tidak diterjemahkan. Misalnya, kata kelayu sekaran’ yang artinya ‘meninggal dunia’ diterjemahkan menjadi ‘berita duka’; atau ungkapan ‘buduh metajen’ diterjemahkan menjadi ‘asyik berjudi’. Kata ‘asyik’ jauh sekali nuansa atau konotasinya dengan ‘buduh’.
Sebagai seorang praktisi penerjemahan, Arif Bagus Prasetyo menyampaikan rasa optimisnya terkait dengan kegiatan ini. “Kegiatan ini akan menambah semangat dan martabat sastra modern berbahasa Bali, memperkaya sastra Indonesia, menjaga dan mengembangkan bahasa Bali, serta memperkuat dan menumbuhkan bahasa Indonesia,” ungkapnya.
Selanjutnya para penerjemah ini akan mengikuti pelatihan penerjemahan dan penandatanganan kontrak dengan Balai Bahasa Provinsi Bali yang akan dilaksanakan pada pertengan Maret tahun ini.
(Sut)