MEMAHAMI BAHASA DAERAH DALAM SEGITIGA CINTA: APAKAH REVITALISASI SANGGUP MENEPIS KEPUNAHAN?
Ancaman hingga kepunahan, menjadi beberapa terminologi yang merefleksikan kondisi bahasa daerah di Indonesia saat ini. Seakan tak lagi senyaring dahulu, slogan kebanggaan para Pamong Praja Indonesia yang mendeklamasikan “Bahasa adalah Jati Diri Bangsa” kini nyaris hanya sayup-sayup terdengar. Padahal, slogan kebanggaan tersebut bukan sebatas seruan kemerdekaan dalam menggenapi kebebasan. Lebih dari itu, aksioma tersebut merepresentasikan citra bahasa sebagai khazanah bangsa Indonesia yang adiluhung. Tidak hanya citra, melalui berbagai rupa bahasa daerah juga menjadi salah satu peran utama dalam menopang kehidupan. Mengacu pada hal tersebut, tentu tidak berlebihan apabila para leluhur menyatakan bahwa bahasa daerah menjadi salah satu kekayaan bangsa yang tidak ternilai harganya. Hal ini tidak hanya terbatas pada jumlah, tetapi juga nilai luhur keberadaan bahasa daerah yang barangkali semakin enggan untuk dilirik.
Melalui proyeksi Laboratorium Kebinekaan Bahasa dan Sastra, setidaknya terdapat 718 bahasa daerah di Indonesia yang resmi tercatat hingga saat ini. Proyeksi tersebut semakin menggenapi betapa mutlaknya Indonesia sebagai bangsa yang majemuk dalam berbagai dimensi kehidupan sekaligus menjadi utuh karena perbedaan. Terlepas dari masifnya jumlah bahasa daerah yang dikantongi, nilai luhur keberadaan bahasa daerah menjadi substansi krusial yang patut untuk diteladani. Bahasa daerah terbentuk sebagai karakter setiap daerah yang begitu unik melalui kreativitas dan intelektualitas penutur jatinya. Hal ini tidak terlepas dari peran bahasa sebagai alat komunikasi yang membantu individu berinteraksi dengan harmonis dalam komunitas. Melalui dinamika tersebut, individu dapat mewarisi nilai, ajaran, hingga berbagai prinsip kehidupan yang positif. Pada akhirnya, bahasa daerah menjadi bagian penting identitas suatu tatanan masyarakat setempat yang tidak dapat dipisahkan (Andina, 2023; Dharma, 2011; Labbineka, 2023).
Bahasa daerah memang hidup untuk memberikan kebermanfaatan bagi penuturnya. Hal ini sejalan dengan ungkapan Guru Besar Antropologi Indonesia, Koentjaraningrat, bahwa peran bahasa daerah amatlah vital bagi keberlangsungan budaya. Meskipun demikian, temuan punahnya 11 bahasa daerah di Indonesia justru semakin memperlebar berbagai tanda tanya. Seakan tidak cukup dengan perolehan tersebut, kini prevalensi ancaman kepunahan telah membelenggu setidaknya 25 bahasa daerah. Tidak hanya itu, status krisis telah menimpa enam bahasa daerah. Menyikapi kondisi tersebut, Kemdikbudristek telah meluncurkan Program Revitalisasi Bahasa Daerah yang tersebar di berbagai provinsi. Tindakan tersebut tentunya bertujuan untuk memberikan respons sigap terhadap isu miring yang tengah menggempur bahasa daerah saat ini. Menariknya, program revitalisasi bahasa pada dasarnya memiliki tujuan yang cukup sederhana, tetapi amat sulit didorong menjadi realitas. Kemdikbudristek mengungkapkan bahwa meningkatkan jumlah penutur bahasa daerah menjadi tujuan fundamental dari program tersebut. Namun, menggelorakan semangat yang kian menyurut bukanlah hal yang mudah dilakukan (Fitri, 2023; Putra dkk., 2022).
Berbagai penelitian menjelaskan penyebab berkurangnya eksistensi bahasa daerah di kalangan penutur berkenaan dengan pesatnya perubahan pola pikir masyarakat dalam merespons kemajuan globalisasi. Masyarakat dipandang cenderung meyakini bahwa pijakan globalisasi hanyalah bahasa universal. Meskipun tidak sepenuhnya salah, pandangan tersebut telah menggeser bahasa daerah nyaris menjadi prioritas akhir dalam waktu yang begitu singkat (Hadiwijaya dkk., 2023). Sebelumnya, Putra dkk.(2022) telah menyinggung perihal peran signifikan keluarga bagi kelestarian bahasa daerah yang rupanya begitu kompleks. Pengajaran bahasa seharusnya diperoleh individu pada masa golden age sebagai periode pesatnya perkembangan linguistik. Tidak hanya tumbuh dalam kesulitan menggunakan bahasa daerah, temuan umum tersebut juga bertanggung jawab atas rendahnya kepedulian individu terhadap bahasa daerah (Sari, 2019; Zain dkk., 2022). Hal ini kian menyudutkan generasi muda dalam tanda tanya perihal kecintaan terhadap bahasa daerah. Pertanyaannya, siapa yang mampu menakar cinta? Atau seberapa besar cinta yang dibutuhkan untuk bahasa?
Damayanti (2023) menjelaskan, teori ilmiah tentang cinta selama ini mengacu pada pandangan Robert J. Sternberg bernama segitiga cinta. Menurut Sternberg, cinta melibatkan tiga dimensi mendasar, yaitu intimasi, komitmen, dan perasaan yang kuat. Kajian perihal segitiga cinta mungkin sudah biasa digunakan pada konteks hubungan antarmanusia, terlebih dinamika romantis yang terjalin. Padahal, konteks cinta cenderung tidak pernah melibatkan takaran dan batasan sehingga untuk merespons berbagai tanda tanya yang semakin melebar perihal cinta generasi muda terhadap bahasa daerah, mungkin saja teori Sternberg kali ini perlu beralih menuju abstraknya hubungan manusia dengan bahasa. Melalui perspektif ilmiah tersebut, gambaran komponen cinta dengan bahasa daerah mencakup tiga ranah berikut.
1. Komponen Intimasi
Selayaknya istilah “bagai sayur tanpa garam”, intimasi menjadi unsur yang begitu vital dalam membentuk cinta. Intimasi dalam konteks ini sering kali dikaitkan dengan berbagai terminologi, meliputi keakraban, kedekatan, dan keterikatan. Lebih lanjut, aspek ini merujuk pada kedekatan emosional sekaligus perasaan kuat untuk menjaga, mendukung, dan menyejahterakan dengan adanya penerimaan dan kepedulian. Pada beragam konteks, intimasi dibentuk melalui proses yang tidak singkat. Sama halnya dengan membangun persahabatan dan hubungan romantis, individu cenderung berproses dalam periode yang panjang untuk memaknai hubungan dengan orang lain. Hingga akhirnya, individu secara otomatis akan berusaha menjaga hubungan bermakna tersebut. Tanpa disadari, kecintaan penutur terhadap bahasa daerah perlu menyibak kilas balik masa kecil. Anak yang tidak mengenal bahasa daerah sedari dini kemudian dipaksa jatuh cinta ketika dewasa, tentu sulit terjadi. Sulit mempelajari sesuatu hal baru apabila tidak mengenali urgensinya. Hal inilah yang perlu untuk menjadi takaran peninjauan peran generasi muda dalam pelestarian bahasa daerah saat ini. Menjalin kedekatan tanpa mengenalinya sejak dini, apakah bisa terjadi?
2. Komponen Perasaan yang Kuat (Passion)
Pada konsep cinta antarmanusia, passion diartikan sebagai hasrat yang secara definitif merepresentasikan perasaan yang begitu kuat kepada pasangan. Konsep ini acapkali diekspresikan dalam ketertarikan, tindakan romantis, hingga kedekatan fisik dalam berbagai tindakan. Dasar teori Sternberg meyakini bahwa passion dan intimasi memiliki hubungan yang solid. Maknanya, munculnya perasaan yang kuat dalam hubungan tentu melibatkan intimasi. Sementara itu, hubungan manusia dengan bahasa memang sulit untuk diamati sehingga passion seakan sulit untuk diilustrasikan. Padahal, komponen ini secara sederhana menjelaskan betapa pentingnya memiliki gairah yang kuat untuk menjaga bahasa. Melalui dorongan passion, individu dapat meyakini diri memiliki tanggung jawab yang masif dalam menjaga kelestarian bahasa daerah. Hal ini tentu didasari oleh proses rekognisi kognitif dan afektif dalam memutuskan perilaku yang relevan untuk menjaga bahasa daerah. Menggunakannya dalam komunikasi keseharian contohnya. Bentuk perilaku tersebut menjadi tujuan mendasar program revitalisasi, yakni berupaya untuk mengajak generasi muda untuk menerapkan penggunaan bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari.
3. Komponen Komitmen
Banyak ungkapan yang mengatakan bahwa cinta adalah pemberian dan mempertahankannya merupakan pilihan. Sternberg memiliki berbagai rupa dari cinta yang lenyap atau abadi selalu dijelaskan oleh komponen bernama komitmen. Komitmen berperan menyeimbangkan aspek intimasi dan passion, sehingga individu dapat menakar kepantasan untuk mempertahankan hubungan melalui berbagai pertimbangan. Kembali pada revitalisasi bahasa daerah, perubahan perilaku yang bersifat permanen atau setidaknya dapat bertahan dalam jangka panjang tentu menjadi capaian yang senantiasa diprioritaskan. Menggelorakan semangat berbahasa daerah dalam satu pekan untuk kemudian dibiarkan menguap di kemudian hari, tentu bukan menjadi target dari revitalisasi. Namun, realitas itulah yang kerap kali terjadi. Disadari ataupun tidak, kondisi ini disebabkan oleh rendahnya komitmen yang terbangun dalam kerenggangan hubungan penutur dengan bahasa daerah. Tanpa adanya komitmen, keperluan penutur untuk mempelajari bahasa daerah hanya sebatas melengkapi nilai pelajaran minor, bukan sebagai kebutuhan mayor. Ringkasan teori segitiga cinta dan kaitannya dengan bahasa daerah merujuk pada bagan berikut.
Bagan 1. Konsep segitiga cinta dalam pelestarian bahasa daerah
Program revitalisasi bahasa daerah memikul banyak harapan untuk membenahi kedudukan dan pelestarian bahasa ibu setiap suku di Indonesia. Pada Merdeka Belajar Episode 17, Kemdikbudristek menyebutkan berbagai langkah strategis revitalisasi bahasa daerah. Pertama, model yang dipusatkan pada bahasa daerah yang masih aman dilakukan melalui intervensi berbasis sekolah. Beberapa bahasa daerah yang masih beruntung berada dalam kategori tersebut meliputi bahasa Bali, bahasa Sunda, dan bahasa Jawa. Sementara itu, model kedua memprioritaskan pada golongan bahasa daerah rentan. Model ini tidak hanya mengandalkan intervensi berbasis sekolah, tetapi juga melakukan strategi terarah dengan menyasar komunitas. Pada model ketiga, pemerintah melakukan upaya pewarisan bahasa daerah berbasis sekolah, keluarga, hingga komunitas. Secara spesifik, model tersebut menargetkan tempat ibadah, kantor desa, dan berbagai ruang publik sebanyak mungkin. Terang saja, model ketiga tersebut memang ditujukan untuk bahasa daerah yang masuk dalam garis bawah status rentan, seperti terancam punah dan kritis (Kemdikbudristek, 2022). Mengacu pada model strategi yang ada tersebut, revitalisasi bahasa daerah sangat memerlukan inovasi generasi muda tanpa melupakan aspek-aspek mendasar yang mungkin sering diacuhkan.
Guna mengingat kembali pentingnya kecintaan terhadap bahasa daerah, program revitalisasi sebaiknya tidak melupakan berbagai skema, seperti intervensi berbasis keluarga sangat relevan untuk seluruh status bahasa sebab pewarisan bahasa daerah pada generasi Z saat ini semakin terkikis. Begitu pula intervensi berbasis sekolah, sebaiknya menyasar seluruh pihak, tidak hanya membebani pengajar bahasa daerah. Diperlukan pula tindak lanjut melalui pelaporan yang terukur, sistematis, dan realistis terhadap program yang telah berjalan. Terakhir, intervensi skala makro yang melibatkan komunitas luas di masyarakat menjadi hal yang relevan untuk dipertimbangkan. Program revitalisasi bahasa daerah sangat perlu untuk menyediakan intervensi komunitas yang dapat merangkul semua penutur, bukan hanya kelompok dengan kemahiran khusus.
Sudah saatnya berhenti mempertanyakan kemampuan program revitalisasi bahasa daerah dalam membentengi kepunahan. Meyakini bahwa generasi penerus bangsa mampu untuk senantiasa berkreativitas tanpa lelah adalah hal yang mudah. Dengan memanfaatkan teknologi, berbagai inisiasi yang tak mustahil dapat terealisasi. Pembelajaran sekolah sebagai garda terdepan revitalisasi pun kini semakin mengakrabkan diri dengan digitalisasi. Sekalipun banyak keterlambatan yang perlu untuk dimaklumi, tetapi saat ini bangsa Indonesia tak lagi khawatir kehabisan inovasi. Kendati demikian, secanggih apa pun inovasi dibuat, tanpa cinta sangat sulit untuk menjadikan pelestarian sebagai tujuan abadi untuk semua penutur.
Referensi
Andina dan Elga. 2023. Implementasi dan Tantangan Revitalisasi Bahasa Daerah di Provinsi Lampung. Aspirasi: Jurnal Masalah-Masalah Sosial. 14(1):15-35. doi: https://doi.org/10.22212/ aspirasi.v14i1.3859
Damayanti dan Anggi Frima. 2023. Perbandingan Jenis Cinta Antar Tokoh Antologi Rasa Kajian Segitiga Cinta Robert J. Sternberg. Jurnal Balapa. 10(3):233-243.
Fitri, Anisa., dan Suhardi. (2023). Aktualisasi Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra di Balai Bahasa Jawa Tengah. Semiotika. 24(2):228-239.
Hadiwijaya, Munawir., Mistianah., E. Sulistiono., dan D. Budiono. 2023. Sosialisasi Program Konservasi dan Revitalisasi Bahasa Daerah Melalui Aplikasi Nusantara in Your Hand. Anafatama: Jurnal Pengabdian Masyarakat. 2(2):1-5.
Kemdikbudristek. 2022. Merevitalisasi Bahasa Daerah Agar Tidak Punah. Retrieved from: https://ditpsd.kemdikbud.go.id/artikel/detail/merevitalisasi-bahasa-daerah-agar-tidak-punah.
Putra, I Nyoman Agus Suarya., Aniek Suryanti Kusuma., Ayu Gede Willdahila., Desak Made Dwi Putra., I Ketut Sutarwiyasa., Putu Satria Udayana Putra., Ni Wayan Wardani., Ni Made Mila Rosa Desmayani., Putu Gede Surya Cipta Nugraha., Edy Hartono., & Gede Surya Mahendra. 2022. Pelatihan Fotografi (Motrek) Bagi Guru SMP dalam Upaya Revitalisasi Bahasa Daerah untuk Tunas Bahasa Ibu di Balai bahasa Provinsi Bali. Jurpikat (Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat). 3(3):549-558.
Laboratorium Kebinekaan Bahasa dan Sastra. 2023. Daftar Bahasa-bahasa Daerah di Indonesia. Retrieved from: https://labbineka.kemdikbud.go.id/bahasa/daftarbahasa.
Sugita, I Wayan., dan I Gede Tilem Pastika. 2022. Revitalisasi Bahasa Bali Melalui Seni Pertunjukan Drama Gong. Dharma Sastra: Jurnal Penelitian Bahasa dan Sastra Daerah. 2(2):135-145.
Ditulis oleh: Ni Putu Elsinthia Suryaningsih dan I Wayan Windi Artha (Duta Bahasa Provinsi Bali 2023)